Selasa, 12 Juni 2018

Bunga

     Sejak pagi tadi dia mengikutiku. Gadis kecil yang suka sekali memegang ujung jilbabnya dan mengikuti kemanapun aku pergi. Kalau dilarang, dia akan menangis seharian, melempar apapun yang ada didekatnya dan tidak akan makan. Kalau sudah begitu, aku juga yang repot.
Namanya Zahra, tapi dia tidak suka dipanggil begitu, katanya, karena Zahra adalah bahasa arab sedangkan dia tidak suka bahasa arab. Jadi, dia hanya menoleh ketika kami memanggilnya... bunga.
     Sudah seharian ini gadis itu tidak melakukan apapun. Hanya mengikutiku saja. Sebenarnya aku jengah, andaikan dia mau sedikit membantu menyelesaikan beberapa pekerjaan, tentu akan kubiarkan dia mengikuti sepanjang hari. Tapi nyatanya tidak, dia hanya mengikuti dan melihat saja. Ah, merepotkan sekali.
     "Seperti kaktus, perempuan pun harus begitu sayang"
Gadis itu berhenti memainkan ujung jilbabnya. Dia mengangkat kepala dan menatapku dengan tatapan yang dapat meluluhkan hati siapapun.
     "Kenapa kaktus? kenapa bukan yang lainnya?"
Aku tersenyum. Zahra -ah, bukan, maksudku- Bunga sudah saatnya diajak bicara.
     "Kaktus itu bunga yang tangguh. Segersang apapun tanah yang dia tinggali, dia tetap bertahan hidup. Seperti perempuan. Perempuan pun harus tangguh. Sekeras apapun lingkungan yang kau hadapi, kau tetap harus hidup."
     "Aku hidup kok Kak Nina"
     "Hidup itu harus menghidupkan sayang. Ada seseorang yang nyatanya hidup tapi dia seperti telah mati, contohnya apa coba?"
     "Emang seperti apa?"
     "Seperti seseorang yang suka sekali malas-malasan. Nyatanya hidup, tapi seolah membuat dirinya telah mati. Lihat saja, jika dalam sehari itu dia dapat menghidupkan semangat yang ada pada dirinya, dia mampu menyelesaikan banyak hal, dan mampu memperoleh apa yang dia inginkan. Itu jika dia hanya menghidupkan satu hal, yakni semangat. Kebayang nggak kalo yang dia hidupkan itu banyak?"
     "Iyaa kak. Sebenarnya aku...."
Gadis itu kembali menunduk dan memainkan ujung jilbabnya.
     "Kenapa? ada masalah?"
     "Boleh aku peluk Kak Nina?"
Perasaanku mendadak tidak enak. Bunga pasti sedang ada masalah.
     "Tentu boleh sayang, sini" Aku merenggangkan tangan, mempersilahkan dia memelukku.
     "Kak.. sebenarnya aku..."
Bunga terdiam dan melepaskan pelukanku. Aku pun diam, memberinya ruang, untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
     "Kak.. Sebenarnya aku... ingin seperti teman-teman yang lain. Aku.... rindu rumah."
Mendengarnya, aku tak dapat menahan air mata. Kupeluk dia, erat, sangat erat. Bagaimana kau rindu rumah sayang? bagaimana kau bisa merindukan pulang? rumah mana yang ingin kau jadikan tempat pulang? rumah mana yang ingin kau tuju?
Sembari mengelus punggung kecilnya, aku berbisik.
     "Tenang sayang, semua akan baik-baik saja. Tetaplah menjadi Bunga. Bunga yang tangguh. Janji?"



NF.
Asoka Timur.
Selasa, 12 Juni 18.
Ramadhan malam 28.

0 komentar:

Posting Komentar

 
nilnafaricha Blogger Template by Ipietoon Blogger Template