Sabtu, 30 April 2016

Mei di Penghujung April

Namanya Mei, tapi dia bukan cina. Bukan! Dia juga bukan nama dari salah satu bulan dalam setahun. Maksudnya, bukan bulan Mei. Mei adalah seorang gadis kecil dengan tas berwarna merah muda dipunggungnya. Dia suka sekali berlari-lari menggerakkan ujung jilbabnya kekanan dan kekiri. Mei adalah gadis periang, tak pernah terlihat sedih ataupun menangis.

Pernah suatu ketika, dia menghampiriku sehabis pelajaran dikelas.. "Kak Nina.. saya bahagia sekali, karena hanya saya yang diperbolehkan sekolah oleh emak" katanya sembari menjilat es lilin
limaratusan. Semenjak itu aku tahu, bahwa ayahnya sudah lama meninggal dunia dan dari enam bersaudara hanya dia yang diperbolehkan untuk bersekolah. Sebab disekolah tempat Mei belajar samasekali tidak memungut biaya akan tetapi memberikan beasiswa. Ya, bukan hanya Mei saja yang mendapatkannya, semua siswa berhak mendapatkan beasiswa itu walaupun tak banyak, tapi cukuplah untuk membeli keperluan sekolah termasuk makan siang untuk sebulan.

Dari beasiswa itulah keluarga Mei bersandar. Tentu tak bisa mencukupi. Hilang sudah harapan emaknya selain semua anak dapat mencari penghidupan sendiri. Bahkan dua orang adik Mei sudah lama tidak bersekolah. Bukan karena asyik bermain hingga lupa diri, tapi mereka asyik memilih sisa padi yang terbuang dipinggiran sawah. Hati siapa yang tak tersayat mendengar cerita ini? 

Kemarin pagi, Mei menghampiriku lagi. Hari itu dia tidak berlari-lari, dan tidak sibuk menjilat es lilin limaratusan kesukaannya. Terlihat bahwa garis senyum terhapus sudah dari wajah polosnya. Dengan suara yang sangat lemah dia berkata "Kak Nina, saya mau salim pake cium tangan, boleh yaa..." Kali ini aku mengiyakan (biasanya tak pernah kuizinkan mereka melakukan hal tersebut), tangannya gemetar meletakkan tanganku dipipinya yang lembut, yang lama kelamaan tanganku mulai merasakan lembab oleh... ah, dia menangis! cepat kulepas genggamannya. Kupeluk dia erat, sangat erat.

Aku mencemaskannya. Perjalananannya mencari ilmu terhambat oleh harapan emaknya sendiri. Mei harus pergi keluar kota untuk mencari penghidupan. Si-emak menginginkan untuk dapat berlaku adil kepada seluruh anaknya, dan ia merasa tak nyaman hati jika Mei tetap bersekolah sedangkan yang lainnya tidak.

Kemarin pagi adalah akhir dari semangatnya ke sekolah. Karena esok, lusa dan seterusnya, tidak akan kujumpai lagi Mei yang suka sekali berlari-lari, Mei yang suka es lilin, Mei yang suka sekali pelajaran menghitung. Usahaku dan usaha sekolah untuk mempertahankan luruh begitu saja dihadapan emaknya, seperti debu yang tak berarti apa-apa.

Semoga kelak kutemui kau dengan kebahagiaan yang utuh. Semoga.

Penghujung April.
BS 

0 komentar:

Posting Komentar

 
nilnafaricha Blogger Template by Ipietoon Blogger Template